Sang Guru,PGRI Cenrana

Kamis, 09 Juni 2011

Membangun Budaya Mutu Evaluasi Diri Sekolah (EDS)

Evaluasi diri sekolah (EDS) bukanlah barang baru di sekolah, sebelumnya telah ada instrumen evaluasi diri yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional untuk kepentingan akreditasi sekolah, sebagai instrumen awal dalam menyiapkan sekolah mengikuti proses akreditasi. Evaluasi diri ini cenderung hanya sebatas instrumen yang diisi hanya pada saat akan akreditasi saja bukan merupakan instrumen sebagai bagian dari program perbaikan sekolah.
Program EDS yang dikembangkan kemendiknas saat ini merupakan program dalam memacu sekolah untuk memperbaiki diri dalam pemenuhan mutu pendidikan. Oleh karena itu EDS bersifat unik dan sangat privasi. EDS yang dimaksud adalah bentuk evaluasi terhadap kinerja sekolah untuk mengetahui kekurangan, posisi sekolah dalam pencapaian standar mutu pendidikan dan sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan sekolah (RKS).
Secara teknis EDS dilakukan oleh tim sekolah yang terdiri dari Kepala Sekolah, Wakil unsur guru, Wakil Komite Sekolah, Wakil orang tua siswa dan Pengawas sebagai fasilitator/ pembimbing. Pelaksanaan EDS di setiap akhir tahun pelajaran agar hasil evaluasi dapat dijadikan input dalam penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) tahun pelajaran berikutnya, sehingga RKS yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan sekolah, yang pada akhirnya sekolah dapat terus melakukan perbaikan mutu kinerja (quality improvement) dari tahun ke tahun.
Mutu Pendidikan
Dalam Undang-undang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan No. 63 Tahun 2009 disebutkan mutu pendidikan adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan Nasional.
Danim (2002) berpendapat bahwa kualitas pendidikan dilihat dari hasil pendidikan dianggap bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Sedangkan menurut Prof.Dr.Jam’an Satori, mutu pendidikan adalah nilai dan manfaat yang sesuai dengan standar nasional pendidikan atas input, proses, output, dan outcome pendidikan yang dirasakan oleh pemakai jasa pendidikan dan pengguna hasil pendidikan.
Dalam permendiknas No. 19 Tahun 2005 terdapat standar pendidikan yang harus dipenuhi. Pencapaian delapan standar pendidikan inilah yang dimaksudkan sebagai tercapainya mutu pendidikan. Dalam mencapai mutu pendidikan satuan pendidikan tidak bisa serta merta mencapainya seperti ‘sulap’ tetapi memerlukan proses yang panjang dan sistematis. Proses tersebut perlu diwujudkan dengan meningkatkan usaha merubah mindset, merubah kebiasaan untuk selalu beroreintasi pada mutu, menciptakan lingkungan kerja kondusif, meningkatkan dukungan dan kepercayaan warga sekolah/ masyarakat. Usaha secara sistematis yang dimaksud dengan melakukan perubahan budaya dari budaya ‘asal jadi’ menjadi budaya yang selalu mengedepankan mutu.
Membentuk Budaya Mutu
Seperti yang dinyatakan oleh Abdul Rahman, Ph.D Pembudayaan Mutu merupakan aktifitas yang dilakukan secara melembaga dan berulang-ulang. Kalau sekarang kita menginginkan mutu pendidikan yang baik, maka yang harus diupayakan adalah faktor-faktor penunjang yang menyebabkan meningkatnya mutu pendidikan, faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tapi saling berkaitan dan bersinergi. Mutu pendidikan yang baik adalah hasil persenyawaan dari delapan faktor penentu yang semuanya sesuai dengan standar yang telah diamanatkan dalam 8 SNP Permendiknas No 19 Tahun 2005.
Menurut Prof. Djam’an Satori budaya mutu sekolah dapat diartikan sebagai berikut :
• Nilai-nilai dan pola-pola keyakinan dan perilaku yang diterima dan dipraktekkan oleh anggota-anggota organisasi.
• Sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya.


Kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi dituntut untuk memiliki komitmen dalam mengembangkan nilai-nilai luhur kepada semua warga sekolah. Terdapat 5 prinsip yang harus dibangun dalam mewujudkan budaya mutu di sekolah, yakni 1) Otonomi, 2) Partisipasi, 3) Tranparansi dan 4) Akuntabilitas.
Otonomi sekolah menuntut sekolah untuk memiliki kewenangan dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan secara mandiri menampung dan mengatur aspirasi masyarakat dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan sekolah. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat sangat diperlukan dalam menggapai tujuan sekolah, partisipasi ini akan terwujud jika kepala sekolah mampu mempengaruhi, mengajak dan menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan warga sekolah dan masyarakat merasa memiliki sekolah sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
Transparansi pengelolaan kegiatan dapat menciptakan kepercayaan timbal balik dan akan mendorong warga sekolah dan masyarakat memberikan dukungan terhadap program-program sekolah. Sedangkan akuntabilitas merupakan kondisi sekolah khususnya kepala sekolah yang dinilai dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya secara bertanggung jawab sesuai dengan program yang telah dibuat. Akuntabilitas kepala sekolah akan mempengaruhi dukungan partisipasi warga sekolah dan masayarakat terhadap program sekolah.
Paradigma EDS
EDS adalah proses evaluasi diri sekolah yamg bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan SPM dan SNP yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan RKS dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota.
EDS berbeda dengan akreditasi, akreditasi merupakan penilaian yang bersifat eksternal dengan tujuan menentukan predikat mutu suatu sekolah, oleh karena itu akreditasi cenderung membuat sekolah berlomba-lomba mendapatkan predikat terbaik, sebab hal ini akan berdampak pada kondite dan prestise suatu sekolah di masyarakat. Kecenderungan tersebut mendorong sekolah-sekolah yang ‘nakal’ untuk melakukan kecurangan-kecurangan terlepas dari kemampuan para assesor untuk melihat dan menilai fakta yang ada.
EDS mencoba merubah dorongan-dorongan tersebut menjadi suatu motivasi perubahan ke arah yang lebih baik, sehingga kata kuncinya adalah kejujuran. EDS menuntut sekolah untuk berlaku jujur dalam melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri.
Dampak EDS
Semangat EDS yang mengedepankan kejujuran akan membawa dampak terhadap kesadaran atas kekurangan diri sehingga melahirkan usaha-usaha perbaikan agar mencapai standar mutu. Usaha-usaha perbaikan yang lahir dari kesadaran diri bersifat permanen sehingga melahirkan kebiasaan dan menciptakan atmosfer akademik dalam suatu organisasi, serta menjunjung nilai-nilai luhur. Koreksi terhadap kekurangan diri dan pembinaan yang berkesinambungan serta kontrol dari pengawas dan pihak lainnya akan mendorong sekolah untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam pemenuhan standar mutu pendidikan.
Rekomendasi atas EDS menjadi input dalam penyusunan RKS, sehingga RKS dibuat berdasarkan data yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pada akhirnya jika kinerja senantiasa ada perbaikan dari waktu ke waktu maka akan melahirkan siswa/ lulusan yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar