Tulisan di bawah ini aq kopas dari http://suciptoardi.wordpress.com/
Aku tergelitik untuk memuatnya, bernapsu ada keiiginan untuk saling mengingatkan. Sadar karena Indonesia butuh guru yang mutlak harus 'lebih' tetapi bukan guru yang dimanfaati oleh oknum penguasa saja, misalnya ketika kampanye pemilu/pemilukada. Jangan guru, hanya menjadi bagian dari korban-korban picik oleh fihak manapun, sementara mereka merintih' karena nyaris sebagian guru honorer, misalnya, tak berkutik dengan system....berikut kopasnya :
PGRI bukanlah organisasi guru karena belum sesuai dengan semangat UUGD. Hampir seluruh pucuk pimpinan adalah para pejabat. PGRI dipimpin bukan oleh guru. Bagaimana mungkin pejabat dapat memahami penderitaan guru, sementara mereka bukan guru?, bagaimana bisa, mereka memahami kesejahteraan guru honor, sementara mereka kumpulan pejabat?, bagaimana mungkin mereka berani mengkritik pemerintah demi membela guru honor, sedangkan mereka duduk di kursi empuk?, bagaimana mungkin, mereka mengawal para pemangku kebijakan di departemen dan di parlemen, sementara waktu mereka tidak ada untuk guru honor?, bagaimana mungkin mereka (PGRI) sampai ke akar rumput guru, sementara mereka tidak pernah turun ke sekolah?. Saat ini, tidak mungkin. PGRI tidak peduli, PGRI meninggalkan guru honor dibelakangnya, PGRI Mandul.
Menurut Tabrani Yunis selaku Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, setidaknya ada dua sebab yang membuat PGRI menjadi sebuah organisasi yang mandul dan cuwek terhadap constituent nya.
Pertama, karena yang menjadi pengurus PGRI bukan guru, tetapi pejabat dinas pendidikan dan bahkan pejabat yang bekerja diluar sector pendidikan. Memang,masa lalu mereka adalah guru, tetapi saat menjabat sebagai ketua dan pengurus PGRI, mereka bukan lagi guru. Mereka sudah melupakan nasib guru yang pernah mereka alami sebelumnya. Nah, apa yang bisa diperjuangkanoleh para petualang politik yang berbaju pejabat itu ? Bukankah lebih baik mereka berjuang menjaga jabatan dari pada bersuara memperjuangkan nasib guru ?
Pertama, karena yang menjadi pengurus PGRI bukan guru, tetapi pejabat dinas pendidikan dan bahkan pejabat yang bekerja diluar sector pendidikan. Memang,masa lalu mereka adalah guru, tetapi saat menjabat sebagai ketua dan pengurus PGRI, mereka bukan lagi guru. Mereka sudah melupakan nasib guru yang pernah mereka alami sebelumnya. Nah, apa yang bisa diperjuangkanoleh para petualang politik yang berbaju pejabat itu ? Bukankah lebih baik mereka berjuang menjaga jabatan dari pada bersuara memperjuangkan nasib guru ?
Ironisnya, para petualang politik yang pejabat di Dinas Pendidikan dan non
pendidikn itu, tidak pernah malu dan terus mempertahankan jabatan ketua
PGRInya. Alasannya klasik, ini bukan karena keinganan saya, tetapi anggota
Konferda telah menunjuk saya. Padahal pemilihan itu sendiri di dalam konferdasudah diatur sedemikian rupa dengan menggunakan tenaga-tenaga team sukses yang dibentuk dan bekerja secara professional. Maka wajar, kalau nafsu besar menjadi ketua PGRI menggelora.
pendidikn itu, tidak pernah malu dan terus mempertahankan jabatan ketua
PGRInya. Alasannya klasik, ini bukan karena keinganan saya, tetapi anggota
Konferda telah menunjuk saya. Padahal pemilihan itu sendiri di dalam konferdasudah diatur sedemikian rupa dengan menggunakan tenaga-tenaga team sukses yang dibentuk dan bekerja secara professional. Maka wajar, kalau nafsu besar menjadi ketua PGRI menggelora.
Lebih ironis lagi, para ketua PGRI ini tidak pernah merasa malu, karena mereka menjadi impotent dalam memperjuangkan nasib guru. Bahkan tidak pernah mau turun dari jabatan ketua atau pengurus. Sungguh mereka tidak punya lagi rasa malu dan sangat serakah terhadap jabatan. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang pejabat bisa berfikir nasib guru sementara mereka harus berhati-hati menjaga kedudukan di jabatan formal dari rebutan orang lain.
Kedua, terkooptasinya PGRI oleh status quo dan para pejabat di Dinas Pendidikan maupun non pendidikan dari dahulu hingga saat ini adalah karena lemahnya dan loyonya para guru. Para guru kita bagai sudah mati sifat kritisnya. Mungkin karena terlalu lama terkungkung dalam budaya beo. Guru kehilangan inisiatif, kehilangan kemampuan analisis, kehilangan kepedulian bahkan kehilangan solidaritas terhadap nasib sesame guru. Padahal, idealnya organisasi guru harus dikuasai oleh guru. Bukan mantan guru yang kini menjadi pejabat. Karena hanya guru yang bisa merasakan penderitaan guru, kalau pejabat walau dia dahulunya guru, sudah lupa pada nasib guru, karena aroma dan aura pejabat lebih kental dan melekat pada dirinya, sehingga tidak bisa berbicara kritis. Kecuali sekali lagi menyelamatkan jabatan yang sedang dinikmati.
Oleh sebab itu, kalau ingin nasib guru bisa diperjuangkan, tidak ada cara lain, yaitu guru harus menggantikan semua pengurus PGRI saat ini dengan guru-guru yang kritis. Ini memang sulit, karena saat ini guru di Indonesia sudah kehilangan solidaritas bersama.
Selain itu, PGRI semakin jauh lagi bagi pecinta IT, padahal dengan internet, berbagai kemungkinan akses yang lebih luas dapat teralisir. Namun sayangnya, “PGRI tidak memiliki situs internet“. Menyedihkan, bukan?. Sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun ketika awal Indonesia merdeka (baca: sejak tahun 1945 hingga 2010), yang katanya memiliki keanggotan di seluruh provinsi Indonesia, yang diyakini jaringannya luas se-Indonesia, dan kelahirannya dijadikan sebagai hari Guru Nasional, ternyata tidak ada satupun anggotanya yang mampu, bisa, atau mau membuatkannya (situs resmi PGRI). Bahkan, tidak hanya itu, PGRI ternyata “diam saja” tidak membela guru honor ketika dihadirkan dalam sidang Panja Guru Honor Feb 2010. PGRI tidak membela. Dengan “kealpaannya” untuk kepentingan diakar rumput guru, aku menggumam: Buang Saja PGRI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar